BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sindroma
Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang polineuropati demyelinasi
akut (AIDP), poliradikuloneuritis idiopatik akut, polyneuritis idiopatik akut,
Polio Perancis, paralisis asendens Landry, dan sindroma Landry
Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf
perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS
termasuk dalam kelompok penyakit neuropati perifer.
GBS tersebar
diseluruh dunia terutama di negara–negara berkembang dan merupakan penyebab
tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada dewasa muda dan
bisa meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering dijumpai pada laki
– laki dari pada perempuan. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok
usia 16-25 tahun, tetapi mungkin juga berkembang pada setiap golongan usia.
Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit febris ringan 2-3 minggu
sebelum awitan. Infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau
gastrointestinal.
Angka
kejadian penyakit ini berkisar 1,6 iga puluh persen% penderita ini membutuhkan
mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% pesampai
1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului dengan
infeksi saluran nafas atas. Tnderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang
perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita
gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya
kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan
koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas
berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari sindrom guillain barre.
2.
Bagaimana penyebab terjadinya sindrom guillain barre.
3.
Apa saja tanda dan gejala dari sindrom guillain barre.
4.
Bagaimana patofisiologi sindrom guillain barre.
5.
Apa saja komplikasi dari sindrom guillain barre.
6.
Bagaimana penatalaksanaan untuk klien guillain barre.
7.
Bagaimana asuhan keperawatan pada klien yang mengalami
sindrom guillain barre.
C.
Tujuan
1.
Tujuan Umum
Tujuan umum
penulis dalam menyusun makalah ini adalah untuk mendukung kegiatan
belajar-mengajar jurusan keperawatan khususnya pada mata kuliah keperawatan
Neurobehavior II tentang asuhan keperawatan klien dengan infeksi dan inflamasi
system saraf pusat.
2.
Tujuan Khusus
Tujuan
khusus penulis dalam menyusun makalah ini agar mahasiswa mengetahui bagaimana
asuhan keperawatan klien dengan infeksi dan inflamasi system saraf pusat:
Sindrom Guillain Bare, mengetahui penyebab, patofisiologi, tanda dan gejala,
komplikasi yang mungkin terjadi, serta penatalaksanaan dari klien yang
mengalami sindrom Guillain Bare.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Definisi
Sindroma
Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch,
1998 )
SGB mempunyai banyak sinonim, antara
lain :
·
polineuritis akut pasca infeksi
·
polineuritis akut toksik
·
polineuritis febril
·
poliradikulopati,dan
·
acute ascending paralysis.
2. Sejarah
Pada tahun
1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis
tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis
diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan
kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan
tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal
(CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi
sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut
Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain
berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada
pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan
kecepatan hantar saraf pada EMG.
3. Epidemiologi
Penyakit ini
terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan
frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi
peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa
penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun,
sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober
yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre
bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun.
Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian
mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia
15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2
tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua
usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan
ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam,
5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di
Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan
wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan
April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
4. Etiologi
Etiologi SGB
sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih
menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin
ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
·
Infeksi
·
Vaksinasi
·
Pembedahan
·
Penyakit sistematik :
o
Keganasan
o
Systemic lupus erythematosus
o
Tiroiditis
o
Penyakit Addison
·
Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering
sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal
Salah satu hipotis menyatakan bahwa
infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer.
5. Infeksi akut
yang berhubungan dengan SGB
Infeksi
|
Definite
|
Probable
|
Possible
|
Virus
|
CMVEBV
|
HIVVaricella-zosterVaccinia/smallpox
|
InfluenzaMeaslesMumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
|
Bakteri
|
CampylobacterJejeniMycoplasma
Pneumonia
|
Typhoid
|
Borrelia BParatyphoidBrucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria
|
6. Patogenesa
Mekanisme
bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma
ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa
merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya
antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap
agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto
antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya
penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf
tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses
demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan
imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling
sering adalah infeksi virus.
7. Peran
Imunitas Seluler
Dalam sistem
kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran
makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam
cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan
peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini
terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui
makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh
virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh
penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi
aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma
interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi
molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan
dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan
pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak
protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
8. Patologi
Pada
pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi.
Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama
berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat
beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,
poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan
selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh
enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa
perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi
dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti
demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi
degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus
membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
9. Klasifikasi
Beberapa
varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor
axonal neuropathy
4. Acute motor
sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s
syndrome
6. Acute
pandysautonomia
10. Gambaran
Klinis
Penyakit
infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70 % penderita gejala klinis
SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3
minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu
pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria,
infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa .
Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau
keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis.
Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari
(4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
Keluhan
utama
Keluhan utama penderita adalah
prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya.
Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada
keempat anggota gerak.
Gejala
Klinis
1. Kelumpuhan
Manifestasi
klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone.
Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara
serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris
dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan
otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama
beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).
2. Gangguan
sensibilitas
Parestesi
biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai
dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan
sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas
ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa
nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf
Kranialis
Saraf
kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka
sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga
bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai
kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau
N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar
menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan
karena paralisis n. laringeus.
4. Gangguan
fungsi otonom
Gangguan
fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa
sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial
flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau
episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang
dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua
minggu.
5. Kegagalan
pernafasan
Kegagalan
pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak
ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis
diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen
penderita .
6. Papiledema
Kadang-kadang
dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena
peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi
arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .
7. Perjalanan
penyakit
Perjalan
penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai
dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai
mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang
yang melebihi 8 minggu .
Segera
setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah
mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling
sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu .
Fase rekonvalesen ditandai oleh
timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa
bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang
dari 6 bulan.
.
1. Variasi
klinis
Di samping
penyakit SGB yang klasik seperti di atas, kita temui berbagai variasi klinis
seperti yang dikemukakan oleh panitia ad hoc dari The National Institute of
Neurological and Communicate Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1981
adalah sebagai berikut :
- Sindroma Miller-Fisher
- Defisit sensoris kranialis
- Pandisautonomia murni
- Chronic acquired demyyelinative neuropathy
2. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran
laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak :
> 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal
ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan
otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya
setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian
pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam
cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada
beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
3. Pemeriksaan
elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang
mendukung diagnosis SGB adalah :
·
Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
·
Distal motor retensi memanjang
·
Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan
perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
·
Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan
elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila
ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama
dan tidak sembuh sempurna .
11. Terapi
Sindroma
Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di
unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan
ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat
sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan
bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang
cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan
tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit
dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
12. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan
bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk
terapi SGB.
13. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange
bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain
plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis
yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml
plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan
saat awal onset gejala (minggu pertama).
14. Pengobatan
imunosupresan:
1. Imunoglobulin
IV
Pengobatan dengan gamma globulin
intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3
hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai
sembuh.
2. Obat
sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang
dianjurkan adalah :
·
6 merkaptopurin (6-MP)
·
Azathioprine
·
cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini
adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
3. Prognosa
Pada umumnya
penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita
dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa
gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara lian:
a) Pada
pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
b) Mendapat
terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c) Progresifitas
penyakit lambat dan pendek
d) Pada penderita
berusia 30-60 tahun
BAB
III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Data subjektif:
·
Bangun tidur di
pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
·
Sebelumnya dia
mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya
·
Tidak mampu
menelan air liurnya
·
Sebelum sakit
sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai
kendaraan dan merawat dirinya
Data Objektif:
·
Hasil
pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan stroke
·
Kelemahan pada
kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan
(ventilator)
·
Hasil lumbal
pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan meningkat,
leukositosis
2.
Analisa Data
Data
|
Masalah
|
Etiologi
|
DS:
DO:
|
Pola napas
dan pertukaran gas tidak efektif
|
Kelemahan
otot-otot bantu pernapasan
|
DS:
DO:
1 1
|
imobilisasi
|
Paralisis
|
3. Diagnosa Keperawatan
1)
Pola napas dan
pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot-otot pernapasan
2)
Kerusakan Mobilitas
fusik b.d kerusakan neuromuskuler 3. Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan
1. Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot pernapasan
Tujuan :
·
Membuat / mempertahankan pola pernafasan efektif
melalui ventilator
Kriteria Hasil :
·
Tidak terdapat sianosis , Saturasi oksigen dalam
rentang normal
Tindakan keperawatan
·
Selidiki Etiologi gagal pernapasan
R/ Pemahaman penyebab masalah
pernapasan penting untuk perawatan pasien
·
Observasi pola napas. Catat frekuensi pernapasan ,
jarak antara pernafasan spontan dan napas ventilator
R/ Pasien pada ventilator dapat
mengalami hiperventilasi /hipoventilasi , dispnea / lapar udara dan berupaya
memperbaiki kekurangan dengan bernapas berlebihan
·
Auskultasi dada secara periodik catat adanya / tak
adanya dan kualitas bunyi napas , bunyi napas tambahan , juga simetrisitas
gerakan dada
R/ Memberikan informasi tentang
aliran udara melalui trakeobronkial dan adanya /tidak adanya cairan
·
Periksa selang terhadap obstr,uksi . Contoh terlipat
atau akumulasi air . Alirkan selang sesuai indikasi , hindari aliran ke pasien
atau kembali kedalam wadah
R/ Lipatan selang mencegah
penerimaan volume adekuat dan meningkatkan tekanan jalan napas . Air mencegah
distribusi gas dan pencetus pertumbuhan bakteri
·
Periksa fungsi alaram Ventilator, Jangan matikan
alaram , meskipun untuk penghisapan, Yakinkan bahwa alaram terdengar ke kantor
perawat
R/ Sangat penting apabila terdapat
tanda- tanda distres pernafasan atau henti napas
·
Pertahankan tas resusitasi disamping tempat tidur dan
ventilasi manual kapanpun diindikasikan
R/ Memberikan / menyediakan
ventilasi adekuat bila pasien atau masalah menuntut pasien sementara dilepas
dari ventilator
Kolaborasi
·
Kaji susunan ventilator secra rutin dan yakinkan
sesuai indikasi
R/ Mengontrol /menyusun alat
sehubungan dengan penyakit utama pasien dan hasil pemeriksaan diagnostik untuk
mempertahankan parameter dalam batas benar
·
Cbservasi persentasi konsentrasi oksigen ,
yakinkan bahwa aliran olsigen tepat , awasi analisa oksigen atau lakukan
analisa oksigen periodik
R/ Nilai untuk mempertahankan
persentase oksigen yang dapat diterima dan saturasi untuk kondisi pasien ( 21%
sampai 100% ) . Karena mesin tidak selalu akurat, analiser oksigen dapat
digunakan untuk memastikan apakah pasien menerima konsentrasi oksigen yang
diinginkan
·
Kaji volume tidal ( 10-15 ml /kg ) Yakinkan fungsi
spirometer baik . Catat perubahan dari pemberian volume yang terbaca pada
komputer
R/ Mengawasi jumlah udara inspirasi
dan ekspirasi . Perubahan dapat menunjukkan gannguan komplain paru atau
kebocoran melalui mesin.
2. Diagnosa keperawatan : Kerusakan
Mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan Neuromuskuler
Tujuan
·
Untuk mempertahankan posisi fungsi dengan tak ada
komplikasi ( kontraktur , dekubitus )
Kriteria Hasil ;
·
Klien dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian
yang sakit
Tindakan keperawatan
·
Kaji kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional
dengan menggunakan skala 0-5.
R/ Menentukan perkembangan/
munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan / harapan pasien
·
Berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman .
Lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang teratur sesuai kebutuhan secara
individual
R/ Menurunkan kelelahan ,
meningkatkan relaksasi . Menurunkan resiko terjadinya iskemia / kerusakan pada
kulit
·
Sokong ekstrimitas dan persendian dengan bantal
R/ Mempertahankan ekstrimitas dalam
posisi fisiologis , mencegah kontraktur.
·
Lakkukan latihan rentang gerak pasif . Hindari latihan
aktif selama fase akut
R/ Menstimulasi sirkulasi.,
meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi
·
Koordinasikan asuhan yang diberikan dan periode
istirahat tanpa gangguan
R/Penggunaan otot secara berlebihan
dapat meningkatkan waktu yang diperlukan untuk remielinisasi , arenanya dapat
memperpanjang waktu untuk penyembuhan
·
Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus
dikembangkan dan bergantung pada toleransi secara individual
R/ Kegiatan latihan pada bagian
tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap / terprogram ,
meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis yang
positif
·
Berikan lubrikasi / minyak artifisial sesui kebutuhan
R/ Mencegah dari kekeringan tubub
klien.
Kolaborasi
·
Konfirmasikan dengan / rujuk kebagian terapi fisik /
terapi okupasi
R/ Bermanfaat dalam menciptakan
kekuatan otot secara individual /latihan terkondisi dan program latihan
berjalan dan mengidentifikasi alat bantu untuk mempertahankan mobilisasi dan
kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari- hari
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
GBS
merupakan proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang
terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Terjadi
kelemahan otot, kehilangan reflex, dan kebas pada lengan, tungkai, wajah, dan
bagian tubuh lain. Kasus ini terjadi secara akut dan berhubungan dengan proses
autoimun. Fokus utama asuhan keperawatan pada penyakit ini adalah
mempertahankan pernapasan, mencegah komplikasi, memberi dukungan emosional,
mengedalikan nyeri, dan memberikan iformasi prognosis penyakit.
B. Saran
Nutrisi,
hygiene, dan istirahat yang cukup dapat membantu meningkatkan system imun dari
tubuh penderita yang mengalami masalah pada bagian system imun.
DAFTAR PUSTAKA
Wibowo, Samekto & Gofir abdul.
2001. Farmakoterapi Dalam Neurologi.
Penerbit Salemba Medika; Jakarta.
Comer, Sheree. RN. MS. 2005 Critical Care Nursing Care Plans. Delmar
Learning Thomson Asian Edition;
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologis Klinis. Gadjah Mada University Press; Jakarta
Widagdo, Wahyu S.kp. M.Kep. Sp.Kom,
dkk. 2008. Askep Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Penerbit Buku Keperawatan dan Kepribadian;
Jakarta.
http://xa.yimg.com/kq/groups/23350775/2046214617/name/Guillaine+Barre+Sindrome.pdf
http://staff.unila.ac.id/gnugroho/files/2012/11/ANATOMI-FISIOLOGI-SISTEM-SARAF.pdf
Doenges,
Marilynn dkk. 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan. EGC: Jakarta.
http://fk.uwks.ac.id/archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20Desember%202010/SINDROM%20GUILLAIN%20BARRE.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar