Senin, 18 Mei 2020

PRINSIP LEGAL DAN ETIK DALAM MENAJEMEN BENCANA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia  berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR). Tingginya  posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi. Dan menduduki peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama Januari 2013 mencatat ada 119 kejadian bencana yang terjadi di Indonesia. BNPB juga mencatat akibatnya ada sekitar 126 orang meninggal akibat kejadian tersebut. kejadian bencana belum semua dilaporkan ke BNPB. Dari 119 kejadian  bencana menyebabkan 126 orang meninggal, 113.747 orang menderita dan mengungsi, 940 rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak sedang, 10.945 rumah rusak ringan. Untuk mengatasi bencana tersebut, BNPB telah melakukan  penanggulangan bencana baik kesiapsiagaan maupun penanganan tanggap darurat. Untuk siaga darurat dan tanggap darurat banjir dan longsor sejak akhir Desember 2012 hingga sekarang, BNPB telah mendistribusikan dana siap  pakai sekitar Rp 180 milyar ke berbagai daerah di Indonesia yang terkena  bencana.
Namun, penerapan manajemen bencana di Indonesia masih terkendala  berbagai masalah, antara lain kurangnya data dan informasi kebencanaan, baik di tingkat masyarakat umum maupun di tingkat pengambil kebijakan. Keterbatasan data dan informasi spasial kebencanaan merupakan salah satu  permasalahan yang menyebabkan manajemen bencana di Indonesia berjalan kurang optimal. Pengambilan keputusan ketika terjadi bencana sulit dilakukan karena data yang beredar memiliki banyak versi dan sulit divalidasi kebenarannya.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa masih terdapat kelemahan dalam sistem manajemen bencana di Indonesia sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Defiisi Menegemen Bencana ?
2.      Apa Saja Asas-Asas dan Prinsip Legal Dan Etik Dalam Menajemen Bencana ?
3.      Apa Saja Prinsip Etik Perawat Dalam Menajemen Becana ?

C.     Tujuan Penulisan
a)      Tujuan Umum
Adapun tujuan makalah ini adalah untuk menganalisa terkait prinsip-prinsi legal dan etik dalam menajemen bencana .
b)      Tujuan Khusus
1)      Memehami pengertian menajemen bencana itu sendiri.
2)      Memahami asas dan prinsip-prinsip dalam menejemen bencana atau penanggulangan bencana
3)      Memahami terkait legal dan etik dalam suatu tindakan dalam menejemen bencana




BAB II
TINJAUAN TEORI
A.    Definisi Menajemen Bencana
Penanggulangan bencana atau yang sering didengar dengan manajemen  bencana (disaster management)adalah serangkaian upaya yang meliputi  penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan  pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
B.     Prinsip-prinsip Menajemen Bencana
Prinsip-prinsip dalam menejemen bencana atau penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU  No. 24 tahun 2007, yaitu:
1)      Cepat dan tepat.
Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
2)      Prioritas.
Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat  prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
3)      Koordinasi Dan Keterpaduan
Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung.
Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.
4)      Berdaya Guna Dan Berhasil Guna.
Yang dimaksud dengan “prinsip  berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang  berlebihan.
Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
5)      Transparansi Dan Akuntabilitas.
Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
6)      Kemitraan.
7)      Pemberdayaan.
8)       Nondiskriminatif 
Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.
9)      Nonproletisi.
Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.

C.     Asas-asas Penanggulangan Bencana
Penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 Tahun 2007  berasaskan:
1)      Kemanusiaan.
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” termanifestasi dalam penanggulangan bencana sehingga undang-undang ini memberikan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
2)      Keadilan.
Yang dimaksud dengan”asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
3)      Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan.
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan  bencanatidak boleh berisi hal-hal yang membedakan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
4)      Keseimbangan, Keselarasan, Dan Keserasian.
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan. Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan  bencana mencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lingkungan.
Yang dimaksud dengan ”asas keserasian” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
5)      Ketertiban Dan Kepastian Hukum
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
6)      Kebersamaan.
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah  bahwa penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong.
7)      Kelestarian Lingkungan Hidup.
Yang dimaksud dengan “asas kelestarian lingkungan hidup” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan kelestarian lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang demi kepentingan bangsa dan negara.
8)      Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi.
Yang dimaksud dengan “asas ilmu  pengetahuan dan teknologi” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal sehingga mempermudah dan mempercepat proses  penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana



D.    Prinsip Etik Perawat Dalam Menajemen Bencana
1)      Autonomy
Mengacu pada hak untuk membuat keputusan sendiri. Perawat yang mengikuti prinsip ini mengakui bahwa setiap klien adalah unik, memiliki hak untuk menjadi apa orang itu, dan memiliki hak untuk memilih tujuan pribadi. orang memiliki "inward autonomy" jika mereka memiliki kemampuan untuk membuat pilihan; mereka memiliki "outward autonomy" jika pilihan mereka tidak terbatas atau dipaksakan oleh orang lain.
2)      Nonmaleficence
Adalah kewajiban untuk "tidak membahayakan" meskipun hal ini tampaknya akan menjadi sebuah prinsip sederhana untuk diikuti,  pada kenyataannya kompleks. Dapat berarti sengaja bahaya menyebabkan kerugian, menempatkan seseorang pada risiko bahaya, dan secara tidak sengaja menyebabkan kerusakan. dalam keperawatan, kerusakan yang disengaja tidak pernah diterima.  Namun, menempatkan seseorang pada risiko bahaya memiliki  banyak sisi. klien mungkin berada pada risiko bahaya sebagai konsekuensi diketahui intervensi keperawatan yang dimaksudkan untuk membantu.
3)      Beneficence
Berarti "berbuat baik" perawat diwajibkan untuk berbuat baik, yaitu untuk melaksanakan tindakan yang menguntungkan klien dan dukungan buat mereka. Namun, berbuat baik juga dapat menimbulkan risiko merugikan
4)      Justice
Sering disebut sebagai keadilan. perawat sering menghadapi keputusan di mana rasa keadilan harus menang.
5)      Fidelity
Artinya menjadi setia kepada perjanjian dan janji-janji. berdasarkan kedudukan mereka sebagai perawat profesional, perawat memiliki tanggung jawab kepada klien, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat, serta untuk diri mereka sendiri. perawat sering membuat  janji seperti aku akan segera kembali dengan obat penghilang rasa sakit atau aku akan mencari tahu untuk Anda. klien mengambil janji tersebut secara serius, sehingga harus menunggu perawat.
6)      Veracity
Mengacu pada mengatakan yang sebenarnya. meskipun hal ini tampaknya sederhana, dalam prakteknya, pilihan tidak selalu jelas. harus perawat mengatakan yang sebenarnya ketika diketahui bahwa hal itu akan menyebabkan bahaya? apakah perawat berbohong ketika diketahui bahwa kebohongan akan mengurangi kecemasan dan ketakutan? berbohong kepada orang sakit atau sekarat jarang dibenarkan. hilangnya kepercayaan perawat dan kecemasan yang disebabkan oleh tidak mengetahui kebenaran.






























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Indonesiamerupakan salah satu yang rawan bencana sehingga diperlukan manajemen atau penanggulangan bencana yang tepat dan terencana. Manajemen bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi  penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan  pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Oleh sebab itu didalam menajemen bencana sangat diperlukannya prinsip legal dan etik dalam proses penanggulangan bencana, prinsip legal dan etik tersebut dapat diajadikan sebagai acuan dalam pemberian pertolongan dan sebagai pedoman dalam mengelola suatu bencana.
B.     Saran
Masalah penanggulangan bencana tidak hanya menjadi beban  pemerintah atau lembaga-lembaga yang terkait. Tetapi juga diperlukan dukungan dari masyarakat umum. Diharapkan masyarakat dari tiap lapisan dapat ikut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana dan lebih mementingkan keentingan bersama dan keselamatan bersama.














DAFTAR PUSTAKA
Ledysia, Septiana. 2013. Januari 2013, Indonesia Dirundung 119 Bencana.
Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Jakarta: DPR RI dan Presiden RI
Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. 2007. Pengenalan  Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Mitigasi
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Kepala Badan  Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang  Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Jakarta: BNPB


Penanganan masalah Psikologis Korban Bencana



A.   Bencana
  1. Definisi
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya  korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Peraturan pemerintah no.21 th.2008).
Bencana adalah segala kejadian yang menyebabkan kerugian, baik ekonomi, kerugian jiwa manuasia dan kerugian pelayanan kesehatan/jasa kesehatan dengan skala yang cukup besar sehingga memerlukan penanganan diluar  penanganan normal yang memerlukan bantuan  daerah Luar dari daerah dampak bencana.(WHO, 2008).
Definisi bencana seperti dipaparkan diatas mengandung tiga aspek dasar, yaitu:
a.    Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard).
b.    Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari masyarakat.
c.    Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka.

­­­
  1. Faktor-faktor penyebab bencana
Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made dis aster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antaralain :
a.    Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-madehazards) yang menurut United Nations International Strategy for DisasterReduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geologicalhazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi(biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunankualitas lingkungan (environmental degradation).
b.    Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur sertaelemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana.
c.    Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat.

Bencana terdiri dari berbagai bentuk. UU No. 24 tahun 2007 mengelompokan bencana ke dalam tiga kategori yaitu:
a.    Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.  
b.    Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
c.    Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok  atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Ethiopian Disaster Preparedness and Prevention Commission (DPPC) mengelompokkan bencana berdasarkan jenis hazard, yang terdiri dari:
a.    Natural hazard. Ini adalah hazard karena proses alam yang manusia tidak atau sedikit memiliki kendali. Manusia dapat meminimalisir dampak hazard dengan mengembangkan kebijakan yang sesuai, seperti tata ruang dan wilayah, prasyarat bangunan, dan sebagainya. Natural hazard terdiri dari beragam bentuk seperti dapat dilihat pada tabel berikut:

b.    Human made hazard. Ini adalah hazard sebagai akibat aktivitas manusia yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Hazard ini mencakup:
1)    Technological hazard sebagai akibat kecelakaan industrial, prosedur yang berbahaya, dan kegagalan infrastruktur. Bentuk dari hazard ini adalah polusi air dan udara, paparan radioaktif, ledakan, dan sebagainya. 
2)    Environmental degradation yang terjadi karena tindakan dan aktivitas manusia sehingga merusak sumber daya lingkungan dan keragaman hayati dan berakibat lebih jauh terganggunya ekosistem.
3)    Conflict adalah hazard karena perilaku kelompok manusia pada kelompok yang lain sehingga menimbulkan kekerasan dan kerusakan pada komunitas yang lebih luas.

  1. Ancaman Bencana di Indonesia
Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Data bencanadari BAKORNAS PB menyebutkan bahwa antara tahun 2003-2005 telah terjadi 1.429kejadian bencana, di mana bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang palingsering terjadi yaitu 53,3 persen dari total kejadian bencana di Indonesia. Dari totalbencana hidrometeorologi, yang paling sering terjadi adalah banjir (34,1 persen daritotal kejadian bencana di Indonesia) diikuti oleh tanah longsor (16 persen). Meskipunfrekuensi kejadian bencana geologi (gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi)hanya 6,4 persen, bencana ini telah menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yangbesar, terutama akibat gempa bumi yang diikuti tsunami di Provinsi NAD dan Sumuttanggal 26 Desember 2004 dan gempa bumi besar yang melanda Pulau Nias, Sumut pada tanggal 28 Maret 2005.

  1. Dampak Bencana
Bencana mengakibatkan kerusakan di berbagai bidang.Menurut peraturan pemerintah no.21 th.2008 bencana dapat mengakibatkan timbulnya  korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Dampak psikologis bencana secara umum pada masyarakat adalah kehilangan (loss), separation, stress, dan trauma yang mempengaruhi cara coping dan behavioral outcome. Ada kaitan yg sangat erat antara kejadian/event sosial dengan keadaan psikologis seseorang/kelompok dalam lingkup bencana, dimana bencana tidak saja berdampak pada 1 orang tapi juga seluruh komunitas (Viemilawati, 2009)    



B.   Stress Pasca Trauma
1.    Definisi Stress
Stress adalah respon non-spesifik terhadap sesuatu yang menyenangkan  atau berbahaya . Stress dapat timbul jika keinginan tidak terpenuhi. Lazarus (1976) mengungkapkan stres bisa terjadi pada individu terdapat tuntutan yang melampaui sumber daya yang dimiliki oleh individu untuk menyesuaikan diri. Hal ini berarti kondisi stres terjadi bila terdapat ketidakseimbangan atau kesenjangan antara tuntutan dan kemampuan. Sumber sress dapat berupa sesuatu yang kecil seperti yang biasa dialami atau dapat juga sesuatu yang besar seperti perceraian, pengalaman bencana dll. Lazarus (1976) mengunkapkan stress tidak hanya tergantung pada kondisi eksternal tapi juga tergantung pada kerawanan konstitusional dari iindividu yang bersangkutan dan pada mekanisme pengolahan kognitif terhadap kondisi yang dihadapi .
Stress akibat bencana tidak hanya dialami oleh individu yang mengalami bencana secara langsung , melainkan juga mereka yang berada di luar daerah bencana, khususnya mereka yang punya keluarga. 

2.    Respons reaksi psikologis
Gejala adanya stress pasca trauma bisa terjadi bila seseorang :
a.    Mengalami kembali
1)    Saat-saat ketika seseoranng tampak memainkan kembali peristiwa itu dalam benaknya
2)    Gangguan-gangguan memori berulang atas peristiwa
b.    Mimpi buruk
c.    Pembangkitan
1)    Perilaku tidak terarah dan tidak tenang
2)    Marah atau berang
3)    Gugup terhadap siapapun dan apapun yang berada di sekitarnya
4)    Kaget dan cemas berlebihan bila mendengar suara yang keras
d.    Penghindaran
1)    Menghindari pemikiran, perasaan atau tempat-tempat yang mengingatkan atas sebuah peristiwa
2)    kaku
e.    Perilaku-perilaku lain : Sulit tidur, konsentrasi, menjauh, penarikan sosial.

3.    Koping stress
Dalam menghadapi stress tentu dibutuhkan koping, strategi, atau cara yang digunakan untuk berdamai dengan stresor (dalam Auerbach & Gramling, 1998). Koping harus segera dilakukan agar stress yang dialami tidak berkepanjangan tanpa penyelesaian. Folkman (dalam Resick, 2001) mengartikan koping sebagai perubahan pemikiran dan perilaku yang digunkaan oleh seseorang dalam menghadapi tekanan dari luar maupun dalam yang disebabkan oleh transaksi antara seseorang dengan lingkungannya yang dinilai sebagai stresor. Koping ini nantinya akan terdiri dari upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi keberadaan stresor.
Sheridan dan Radmacher (1992) telah mengklarifikasikan koping ke dalam dua jenis yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping adalah suatu penanganan stres dengan cara mengurangi atau memecahkan masalah yang menjadi sumber stres. Moos dan Billings (dalam Goldberger & Brezwitz, 1982) memberikan contoh problem-focused coping yaitu mencari info atau saran , berbicara dengan pasangan atau kerabat lainnya mengenai permasalahan yang dihadapi, atau dapat berupa permintaan jenis pertolongan yang spesifik seperti meminjam uang. Sedangkan emotion-focused coping adalah penanganan stres dengan mengendalikan respon emosi yang diakibatkan oleh stresor. Sebagai contoh adalah menunda untuk memikirkan masalah atau mencoba untuk tidak disulitkan dengan permasalahan.
Emotion-focused coping mencoba menghilangkan perasaan yang tidak nyaman yang diakibatkan oleh stressor, bisa dengan cara melihat sisi positif dari satu hal, mencari hikmah dibalik kejadian atau bahkan tak jarang digunakan pengingkaran untuk menenangkan hati. Penghindaran dan pengingkaran adalah cara yang umum digunakan dalam emotion-focused coping. Penghindaran mengacu pada pemindahan diri dari situasi yang menekan sedangkan pengingkaran meliputi melarikan diri dari stressor atau dapat juga penyangkalan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi.
Cara individu untuk menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik / energi, keyakinan, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial dan materi. Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting seperti keyakinan akan nasib yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan yang akan menurunkan kemampuan strategi koping individu.


4.    Reaksi Psikologis Trauma setelah Benca Alam
Gangguan psikologi  dianggap masalah utama yang merupakan dampak peristiwa ekstrim seperti bencana sebagai kondisi  yang  abnormal yang mengakibatkan respon abnormal terhadap terjadinya bencana. Tanggapan manusia terhadap bencana alam  berhubungan dengan  cara orang berpikir, berperilaku dan berinteraksi dalam  lingkungan (Guttman, 2000). Bencana yang tak terduga, terjadi tiba-tiba, dan kerusakan yang luas dipahami sebagai traumatis dan terkait dengan resiko  tinggi gangguan psychological (Bolin, 1989; Thoits, 1983). Yang paling sering terjadi adalah kondisi kehidupan yang terganggu yang memerlukan periode panjang dalam pemulihan (Yates, 1992).  Ada sedikit pertanyaan mengenai dampak potensial traumatis peristiwa bencana. Beberapa studi menunjukkan bahwa gejala stres pasca trauma dan tingkat PTSD meningkat pada  kejadian bencana (Staab et al., 1999). Misalnya, orang yang menderita trauma akan mengakibatkan  kerugian finansial yang signifikan dalam bencana alam cenderung memiliki lebih banyak gejala
Tergantung pada beratnya dampak bencana , tingkat PTSD telah ditemukan bervariasi dari sekitar 5 persen menjadi 22 persen (Green & Lindy, 1994) .Dalam beberapa tahun terakhir, meningkat kesadaran akan dampak psikologis peristiwa bencana, post trauma intervention telah menerima cukup perhatian. Model yang paling banyak digunakan intervensi ofpsychological adalah Mitchell Kritis Insiden Tekanan Debriefing (CSID) (Mitchell, 1983; Mitchell & Everly, 1996). Brifing digunakan sebagai intervensi pencegahan, dan memberikan  asumsi bahwa memberikan dukungan  dengan kesempatan untuk berbagi pengalaman mereka dalam lingkungan dan mendukung akan mengurangi perasaan kelainan, menormalkan perasaan distress  dan perilaku, dan mengurangi morbiditas kronis dengan memfasilitasi coping responses lebih adaptif (Raphael & Wilson, 2000).  Hal ini tidak berarti bahwa bencana tidak memiliki dampak psikososial yang signifikan. Hampir selalu menghasilkan aditif dan stressor interaktif yang dapat berkontribusi untuk gejala bahaya gangguan psychological yang muncul dalam beberapa minggu atau bulan setelah bencana. Namun, penting di sini untuk mengenal  bahwa tekanan psikologis lebih sering mencerminkan kesulitan dan sulitnya selama pemulihan dan pembangunan kembali, daripada karakteristik dampak bencana.
"Berurusan dengan badan-badan bantuan (terutama instansi pemerintah), kehilangan pekerjaan, status kehilangan di lingkungan, atau campuran sosiokultural berubah di masyarakat adalah semua pengalaman yang mungkin dapat terjadi setelah bencana dan benar-benar mungkin lebih signifikan, dari waktu ke waktu, dari paparan agen bencana sendiri "(Flynn, 1999: 111). Penelitian telah menunjukkan bahwa ketegangan yang terkait dengan memulihkan perumahan dan pola hidup berdampak pada kesejahteraan psikologis akut dan berpotensi menimbulkan peristiwa trauma penelitian Parker dari Darwin siklon menunjukkan tingkat awal disfungsi antara korban terkait dengan 'stres kematian' takut terjadinya  trauma  atau kematian), ketidakmampuan menyesuaikan diri setelah 10 minggu dikaitkan dengan kehilangan seperti  stres karena ditinggal dan harta benda yang hilang dan gangguan dukungan komunitas atau dukungan keluarga. Demikian pula, Lima et al. (1997) menemukan bahwa tingkat distress tujuh bulan setelah  Armero gunung berapi in Colombia 1985 terkait kurang berdampak terjadinya  kekhawatiran  karena beberapa karakteristik berkaitan dengan hilang harta, terganggu pekerjaan, ketidakpuasan dengan kondisi hidup, dan perasaan tidak mempunyai apa-apa  secara memadai disediakan atau difasilitasi  oleh pemerintah sehingga tidak berdambak terjadinya stress pasca bencana.

            5.    Populasi Rentan Terkena
Di antara yang paling rentan terhadap dampak terjadinya bencana alam adalah kelompok dengan ekonomi rendah dan daerah pinggiran . Pengalaman AS, daerah  yang miskin secara ekonomi atau daerah yang kurang prioritas  untuk bencana cenderung kehilangan lebih banyak selama proses pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana (Dash et al, 1997;. Phillips , 1993). Rumah tangga dengan berpenghasilan rendah umumnya resiko tinggi terjadinya kehilangan yang lebih besar . Dalam hal bencana, rumah tangga ini tidak hanya menimbulkan kerugian secara proporsional lebih tinggi, termasuk kerusakan perumahan, tetapi lambatnya proses pemulihan atau lambatnya dalam proses memperbaiki rumah (Bolin, 1993). Hal ini cenderung terjadi karena pendapatan yang lebih rendah, tabungan lebih sedikit, pengangguran yang lebih besar, dan kurang asuransi. Tidak seperti rumah tangga kelas atas dan menengah ke atas atas yang dapat keuntungan relokasi atau biaya  konstruksi rumah, individu dengan pendapatan rendah mengalami waktu yang lebih lama untuk pemulihan  rumah (Comerio, 1998).  Pengamatan serupa telah dibuat untuk kelompok rentan lainnya. Sebagai contoh, orang tua memiliki proporsional lebih banyak kehilangan dari orang yang lebih muda, tetapi mungkin memiliki sumber daya sosial  dan economi lebih sedikit dan lebih enggan untuk meminta  bantuan formal (Butcher & Dunn, 1989).  Perempuan juga mengalami tingkat yang lebih tinggi dari bahaya, tapi ini dikaitkan dengan pendidikan rendah, sumber daya pendapatan yang terbatas, dan masalah kesehatan yang sudah ada (Shore et al. 1996). Brown dan Harris (1993: 73) berpendapat bahwa perempuan kelas pekerja menjadi sangat rentan terhadap tekanan psikologis setelah  krisis. Hal ini berhubungan dengan kualitas emotional relationships mereka, jumlah anak-anak di rumah dan apakah wanita itu mempunyai pekerjaan  luar rumah.

6.    Mengenali tanda dan Gejala Trauma setelah bencana :
Pengalaman yang mengungsi dan kehilangan cara hidup untuk bencana dapat traumatis bagi mereka yang juga harus berurusan dengan hilangnya keluarga dan teman-teman. Tingkat kerusakan dapat menangkap orang-orang tidak siap dan meninggalkan mereka pada kerugian tentang bagaimana untuk menangani dengan itu. Tanda-tanda dan gejala trauma dapat terus lama setelah bencana berakhir, ketika korban telah dimukimkan kembali ke tempat yang lebih aman. Secara garis besar, ada tiga tanda-tanda umum yang sering terlihat pada orang yang menderita trauma:

a.    Mengalami ulang peristiwa traumatik. Korban trauma sering mengalami kesulitan berkonsentrasi, karena mereka terganggu oleh pikiran berulang atau gambar dari peristiwa traumatik. Mereka mungkin merasa dan bertindak gelisah atau tertekan bila terkena sesuatu yang mengingatkan mereka tentang tragedi itu. Kadang-kadang, mereka berbicara tentang peristiwa masa lalu seolah-olah itu masih terjadi di masa sekarang, seolah-olah mereka melihatnya dari dekat dan tepat di depan mata mereka. Pada anak-anak, reexperiencing mungkin datang dalam bentuk mimpi buruk persisten yang tidak dapat dijelaskan dan hari mengompol setelah acara telah terjadi, atau terus-menerus, keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan (seperti sakit perut, pusing, dan sakit kepala yang tidak dapat dikaitkan dengan penyebab fisik).
b.    Menghindari kenangan trauma di biaya apapun. Korban trauma sering mencoba untuk menutup bahkan pengingat paling terpencil insiden traumatis. Mereka mungkin menghindari pergi ke tempat-tempat atau melakukan kegiatan yang membawa kembali perasaan tertekan tentang acara tersebut. Mereka mungkin berusaha keras untuk menghindari berbicara tentang insiden itu, atau bahkan berpikir tentang hal itu. Banyak menjadi ditarik secara sosial. Secara fisik, mereka mungkin mulai merasa mati rasa atas sebagian atau seluruh tubuh mereka setiap kali kenangan dari peristiwa traumatis muncul kembali. Beberapa bahkan mungkin tidak mampu mengingat apa yang terjadi, atau mereka mungkin lupa bahwa mereka pergi melalui pengalaman sama sekali.
c.   Menjadi menerus cemas dan / atau mudah gelisah. Kondisi ini, juga dikenal sebagai hyper-arousal, menghasilkan orang yang mudah terkejut dan sering merespon dengan cara yang berlebihan (misalnya, tiba-tiba melarikan diri saat mendengar sesuatu yang mengingatkan mereka tentang trauma). Setelah peristiwa traumatik, orang mungkin tidak bisa tidur atau tetap tertidur. Mereka mungkin lebih mudah marah dibandingkan perubahan suasana hati biasa dan tampilan atau misbehaviors yang tidak khas. Anak-anak mungkin melekat pada orang tua mereka, menolak untuk pergi ke sekolah, dan menampilkan kekhawatiran terus-menerus berhubungan dengan bencana, seperti takut kehilangan orang tua mereka.

7.    Assesment
        Aspek kesehatan mental perlu dipertimbangkan dalam langkah-langkah penanganan pasca bencana. Untuk itu diperlukan informasi yang akurat tentang kondisi kesehatan mental masyarakat yang terkena bencana beserta faktor yang mempengaruhi gangguan psikologis pada masyarakat pasca bencana. Sehingga diperlukan :
a.    Rapid Assesment
1)    Menentukan besarnya populasi yang memerlukan bantuan psikologis
2)    Sebaran populasi yang memerlukan bantuan psikologis
3)    Jenis dan tingkat permasalahan psikologis
4)    Mengumpulkan informasi tentang kerusakan fisik di lingkungan
5)    Mengumpulkan informasi tentang hunian sementara dan serta bagaimana kondisinya, bagaimana tingkat kenyamanannya
6)    Mengumpulkan informasi tentang representasi mental korban yang dialaminya
b.    Menentukan intervensi berdasarkan data yang didapat untuk menangani atau menurunkan bahkan mencegah terjadinya gangguan psikologis pada korban bencana
c.    Melaksanakan intervensi yang sudah disusun terutama memperhatikan kebutuhan dasar korban bencana, mulai dari pemenuhan kebutuhan fisiologis, aman nyaman, merasa dicintai, harga diri dan aktualisasi diri

a.    Initial assessment
Langkah pertama untuk pengkajian pasien dengan masalah kesehatan mental adalah memfokuskan untuk mengidentifikasi dengan memerlukan immediate care pada pelayanan emergensi yang meliputi pengkajian :
1)    Kesehatan mental di prehospital
2)    Ide bunuh diri, adanya perilaku yang mengisyaratkan bunuh diri
3)    Adanya ide pembunuhan
4)    Berkurangnya perilaku dalam melakukan perawatan diri
5)    Melukai diri sendiri
6)    Penurunan kemampuan dalam mengontrol perilaku kekerasan
7)    Adanya keganjilan pada perilaku
8)    Penggunaan obat dan alcohol dengan gejala psikiatri

b.    Secondary assessment
1)    Penampilan dan gerakan tubuh secara umum
Apakah penampilan pasien berikut ini?
(a)  Berantakan, tidak bersih
(b)  Slumpedt, tegang, kaku
(c)  provokatif, mengancam
(d)  tidak tepat dalam berpakaian (misalnya, celana pendek di musim dingin)
2)    Kemampuan untuk berpartisipasi dalam sebuah wawancara
Menilai pasien sebagai berikut:
(a)   Tingkat kesadaran
(b)   Orientasi ke orang, tempat, dan waktu
(c)   Tingkat gangguan
(d)   Kemampuan untuk koperasi vs resistensi
(e)   Tingkat guardedness atau kecurigaan
(f)    Tingkat agitasi atau permusuhan
3)    Speech (rate, nada, kefasihan)
Apakah bicara  pasien ditandai dengan salah satu dari berikut?
(a)  Sturred, gagap
(b)  Peningkatan, Ioud
(c)  Penurunan, lembut
(d)  Ditekan
(e)  Mood and Affect
Apakah suasana hati pasien ditandai dengan salah satu dari berikut?
(a)  Tertekan
(b)  Euphoric
(c)  Manic
(d)  labil
(e)  Cemas
(f)   Membenci

4)    Cognition and thought control
Evaluasi apakah pasien memiliki karakteristik sebagai berikut:
(a)  Penurunan Intelectual
(b)  Berpikir teratur
(c)  Flight of ideas
(d)  Pelonggaran asosiasi
(e)  Pemikiran tangensial
(f)   Blocking 
(g)  Delusi
(h)  Disorientasi
(i)    Halusinasi
5)    Insight and judgment
Apakah pasien memiliki salah satu dari berikut ini?
(a)  Pemahaman tentang masalah dan perlunya bantuan atau pengobatan (wawasan)
(b)  Kemampuan untuk membuat keputusan (penghakiman)
6)    General Management Techniques
(a)  Identifikasi gejala umum dan tingkat keparahan
Dengan cepat mengidentifikasi sifat umum dan tingkat keparahan masalah yang yang ditampilkan. Seringkali perawat emergensi harus bergantung pada keluarga pasien atau teman-teman untuk informasi ini. Perawat emergensi harus mengajukan pertanyaan dengan beberapa kunci tertentu , yaitu :
(1)  Mengapa pasien datang untuk bantuan sekarang ?
(2)  Apakah pasien membahayakan dirinya sendiri atau orang lain ?
(3)  Apa kejadian yang mengarah ke kondisi ini ?
(4)  Apakah ada beberapa peristiwa atau hal yang memicunya ?
(5)  Siapa yang membawa pasien?
(6)  Apakah pasien harapkan dari kunjungan ini ?
(7)  Obat apa yang sedang dikonsumsi pasien ?
Selama wawancara pasien, lakukan hal berikut :
(f)   Tetapkan batas tegas
(g)  Tampil tenang dan tidak menghakimi
(h)  Dorong pasien untuk tetap focus
(i)    Pastikan bahwa bantuan sangat dibutuhkan dan  pasien akan menjadi berbahaya secara fisik
(j)    Jangan biarkan pasien untuk datang antara perawat dan pintu
(k)  Cobalah untuk menurunkan tingkat kecemasan pasien
(l)    Jangan berdebat dengan pasien atau mencoba untuk berbicara dari bagaimana perasaan mereka
(m) Memberikan penjelasan yang jelas kepada pasien
(n)  Bersikaplah jujur tentang rencana terapi

7)    Pendekatan secara umum pada pasien dengan gangguan mental
Individu dengan psikiatri emergensi mungkin mengalami penurunan dalam mengontrol diri sendiri dan melakukan kontak dengan dunia luar secara realita. Perhatian yang paling utama pada pelayanan emergensi tidak spesifik pada penyebab atau penampilan luar tetapi lebih pada evaluasi tingkat disfungsi dan hilangnya secara luas kontak dengan realita. Treatmen melibatkan terapi yang segera untuk mengurangi distres akut dan membantu pasien menciptakan kembali sebuah pikiran dalam mengontrol diri sendiri. Untuk mencapai keadaan ini, dapat dilakukan dengan pelayanan yang lebih ekstensif.
Beberapa hal yang dapat dilakukan pada pasien pasien yang mengalami gagguan mental, yaitu :
a)    Menciptakan hubungan yang baik
b)    Gunakan kontak mata.
c)    Rileks ketika berhadapan dengan pasien
d)    Biarkan pasien mengetahui tentang pelayanan yang diberikan kepada pasien sebagai perseorangan
e)    Mendengarkan dengan baik yang disampaikan pasien, tetapi dengan lemah lembut/perlahan mengalihkan perhatian percakapan pada fokus wawancara.



f)     Menciptakan chief complaint
(1)  Apakah pasien bertanya?
(2)  Mengapa pasien bertanya untuk waktu ini?
(3)  Apakah waktu pertemuan ini dipercepat?
(4)  Apakah waktu pertemuan yang akan dating dipercepat?
(5)  Apakah dibantu pada pertemuan yang akan datang?
g)    Bicara dengan jelas dan tanpa menggunakan bahasa khusus.
h)    Mengenali pasien yang mengalami kemunduran. Dorong kemandirian dan partisipasi dalam pengambilan keputusan kapanpun.
i)      Bersikap jujur
j)      Selalu menjaga perilaku dan jelas
k)    Antisipasi adanya perubahan emosional (seperti marah, menangis dan sedih)
l)      Menjelaskan prosedur kepada pasien
m)  Bersikap serius pada pasien
n)    Validasi perasaan pasien
o)    Jangan terhesa-gesa memberikan pertanyaan untuk membantu mengenali perasaan pasien
p)    Jangan takut mengakui ketidaktahuan
q)    Libatkan keluarga atau pasien atau yang lainnya secara signifikan.



8.    Intervensi PTSD
Terdapat 2 penyebab utama yang memicu PTSD yaitu dari aspek biologis dan psikososial. Ditinjau dari aspek biologis, PTSD terjadi karena terdapat gangguan di otak, khususnya bagian memori yang  kejadian trumatisnya terus berulang-ulang. Memori tersebut bila dilahat secara anatomi terdapat hipokampus dan amigdala yang terjadi gangguan (Schiraldi, 2009). Selain itu pada penderita PTSD juga mengalami derajat hormon stress yang tidak normal. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan PTSD memiliki hormn kortisol yang rendah jika dibandingan dengan pasien yang normal dan hormn epinefrin dan norepinefrin dalam jumlah yang lebih dari rata-rata. Ketiga hormon tersebut berperan penting dalam menciptakan respon “flight or fight terhadap situasi stres (PTSD support service, 2009). Penyebab yang kedua dar sspek psikosial  yaitu pengalaman hidup yang dialami oleh seserang sepanjang hidupnya juga merupakan salah satu penyebab terjadinya PTSD. Pengalaman hidup ini mencangkup pengalaman yang dialami dari masa kecil samapi dengan dewasa. Selain pengalaman hidup yang dialami, jumlah  dan tingkat keparahan peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut juga memberikan pengaruh (Mayo Clinic, 2009). Smith dan Segal (2005) menyebutkan peristiwa traumatik yang dapat mengarah kepada munculnya PTSD termasuk perang, pemerkosaa, bencana alam,  kecelakaan mobil, penculikan, penyerangan fisik, penyiksaan seksual/ fisik, prosedur medikal terutama pada anak-anak.
Ada 3 kelompok tanda dan gejala PTSD berdasarkan APA (2000), yaitu :
a.  Merasakan kembali peristiwa traumatik tersebut (re-experiencing symptoms)
Merasakan kembali kejadian traumatis dalam berbgai cara dan hal ini terjadi terus menerus dan menetap. Menurut yehuda (2002), bahwa tanda dan gejala pada kelompoj ini merupakan perwujudan dari kenangan tentang insiden yang tidak diinginkan, muncul dalam bentuk bayangan atau imajinasi yang mengganggu, mimpi buruk dan kilas balik. Tanda dan gejala yang timbul adalah:
1)    Secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai peristiwa traumatik.
2)    Mengalami mimpi buruk yang terus menerus berulang.
3)    Bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatik tersebut akan berulang kembali (flasback).
4)    Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa traumatik tersebut.
5)    Terjadi respok fisikal, seperti jantung berdetang kencang atau berkeringat ketika teringat akan peristiwa traumatik.
b.  Menghindari (avoding symptoms)
Tanda dan gejala PTSD menurut kelompk ini meliputi penurunan respon individu secara umum dan perilaku menghindar yang menetap terhadap segala hal yang mengingatkan klien terhadap trauma. Tanda dan gejala pada kelompok ini adalah:
1)    Berusaha kerasa untuk menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan mengenai peristiwa traumatik.
2)    Berusaha menghindari tempat atau orang-orang yang dapat mengingatkan kembali akan peristiwa traumatik.
3)    Sulit untuk mengingat kembli bagian penting dari peristiwa traumati.
4)    Kehilangan ketertarikan atas aktifitas positif yang penting.
5)    Merasakan seakan-akan hidup anda seperti terputus ditengah-tengah anda tidka berharap untuk dapat kembali mengalami hidup dengan normal, emnikah, dan memiliki akris
c.  Waspada (hyper-arousal symptoms).
Individu yang menderita PTSD akan mengalami peningkatan pada mekanisme fisilgis tubuh, yang akan timbul pada saat tubuh sedang istirahat. Hal ini terjadi sebagai akibat dari reaksi yang berlebihan terhadapt stresor baik secara langsung atau tidak yang merupakan lanjutan atau sisa-sisa dari trauma yang dirasakan. Tanda dan gejala pada kelompok ini adalah:
1)    Sulit untuk tidur atau tidur tapi dengan gelisah
2)    Mudah/ lekas marah atau meledak=ledak
3)    Memiliki kesulitan untuk berkonsentrais
4)    Selalu merasa seperti diawasi atau merasa seakan-akan bahaya mengincar di setiap sudut.
5)    Menjadi gelisah tidak tenang atau mudah terpicu/ sangat waspada.
Seorang dikatakan menderita PTSD jika memebuhi kriteria berikut ini dalam waktu minimal 1 bulan (NIMH, 2009, APA, 2000):
1)    Mengalami kejadian atau peristiwa traumatis
2)    Minimal memiliki 1 tanda re-experiencing symptoms
3)    Minimal memiliki 3 tanda avoding symptoms
4)    Minimal memiliki  2 tanda hyper-arousal smptoms.
5)    Tanda dan gejala yang menyebabkan individu kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-haru, sekolah atau bekerja, berinteraksi dengan teman, menyelesaikan tugas-tugas penting laiannya.

Menurut APA (2000) dan Ross (1999) jenis-jenis PTSD terbagi atas tiga, yaitu:
1)    PTSD akut
PTSD dikatakan akut tanda dan gejala PTSD berakhir dalam kurun waktu satu bulan, sangat mempengaruhi kemampuan individu tersebut dalam menjalankan fungsinya. Jadi rentang waktunya adalah 1-3 bulan dan jika dalam waktu lebih dari satu bulan, individu tersebut masih merasakan tanda dan gejala PTSD dalam skala berat, itu tandanya dia harus segera menghubungi pelayanan kesehatan terdekat. 2) PTSD kronik, PTSD kronik timbul jika tanda dan gejalanya berlangsung lebih dari 3 bulan. Jika sudah terdiagnosa dengan pTSD ada baiknya segera menghubungi pelayanan kesehatan, karena jika tidak ada treatment yang dilakukan makan tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. 3) PTSD With Delayed Onset, walaupun sebenarynya tanda dan gejala PTSD muncul pada saat setelah trauma, ada kalanya tanda dan gejalanya baru muncul minimal enam bulan bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa traumatic itu terjadi.

9.    Penanganan untuk PTSD
PTSD merupakan salah satu dari gangguan kecemasan, oleh karena itu tindakan untuk mengatasi PTSD hampir sama dengan cara untuk mengatasi kecemasan, yaitu:
a.    Tindakan medis
Berdasarkan DSM-IV, PTSD masuk pada kelompok anxiety disorder, dengan daignose medis post-traumatic stress disorder (APA, 2000). Jenis pengobatan yang bisa digunakan pada pengobatan PTSD menurut Ross (1999):
1)    SSRI antidepressant
Ada lima SSRI yang bisa digunakan :Zoloft (sertraline), Paxil (paroxetine), prozac (fluoxetine), Luvox (fluvoxamine), Celexa (citalopram).
2) Antidepresan lain yang bisa digunakan jika SSRI antidepresan tidak efektif mengatasi PTSD atau menimbulkan efek samping, yaitu Serzone(nefazone), dan Effexor (venlafazine).
3)  Antidepresant Trisiklik
Antidepresant Trisiklik yang bisa digunakan yaitu imipramine, amitriptyline (Evavil).
4)    Antiansietas
Benzodiazepine adalah obat yang digunakan untuk mengurangi ansietas, biasanya digunakan untuk jangka pendek, yaitu valium (Diazepam), Xanax (alprazolam), klonopoin (Clonazepam), dan Ativan (Lorazepam).

          b.    Tindakan Keperawatan
1)    Pengkajian untuk klien dengan PTSD
Pengkajian untuk klien dengan PTSD meliputi empet aspek yang akan bereaksi terhadap stress akibat pengalaman traumatis, yaitu (Cook & Fontaine, 2005) :
a)    Pengkajian perilaku (behavioral assessment), yang dikaji adalah dalam keadaan yang bagaimana klien mengalami perilaku agresif yang berlebihan, dalam keadaan yang seperti apa klien mengalami kembali trauma yang dirasakan,bagaimana cara klien untuk menghindari situasi atau aktivitas yang akan mengingatkan klien terhadap trauma, seberapa sering klien mengalami kesulitan dalam masalah pekerjaan semenjak kejadian traumatis.
b)    Pengkajian afektif (affective assessment), berapa lama waktu dalam satu hari klien merasakan ketegangan dan perasaan ingin cepat marah, apakah klien pernah mengalami serangan panik, perasaan bersalah yang dialami yang berkaitan dengan trauma, tipe aktivitas yang disukai untuk dilakukan, apa saja sumber-sumber kesenangan dalam hidup klien, hubungan yang secara emosional terasa akrab dengan orang lain
c)    Pengkajian intelektual (intellectual assessment) yang dikaji adalah kesulitan dalam hal konsentrasi, kesulitan dalam hal memori, berapa frekuensi dalam satu hari tentang pikiran yang berulang yang berkaitan dengan trauma , apakah klien bisa mengontrol pikiran-pikiran berulang tersebut , mimpi buruk yang dialami klien, apa yang disukai klien terhadap dirinya.
d)    Pengkajian sosiokultural (sociocultural assessment) yang dikaji adalah bagaimana cara keluarga dan teman klien menyampaikan tentang perilaku klien yang menjauh dari mereka ,pola komunikasi  antara klien dengan keluarga dan teman, apa yang terjadi jika klien kehilangan keluarganya, dan apakah klien bercerai atau merasa terancam dengan situasi perceraian tersebut.

2)    Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan secara generalis menurut Wilkinson (2007) tujuan umum pada masalah keperawatan PTSD adalah agar individu mampu mengatasi stresor yang ada dengan semua kemampuan yang dia memiliki. Tindakan yang bisa dilakukan adalah membantu klien mengurangi melakukan perasaan diri atau perilaku kekerasan diri sendiri, meningkatkan kemampuan klien untuk beradaptasi terhadap stresor, perubahan, atau ancaman yang akan ditemuinya dlam kehidupan, mebantu dalam hal fokus terhadap kebutuhan, membantu dalam hal fokus terhadap kebutuhan, masalah atau perasaa klien dan orang-orang terdekat untuk meningkatkan koping, problem solving dan hubungan interpersonal, dan hubungan interpersonal, membantu pasien memfasilitasi tingkah laku impulsif memalui aplikasi pemecahan masalah.


c.     Terapi Psikososial
Ada beberapa intervensi lanjut yang bisa diterapkan untuk mengatasi masalag PTSD. Menurut pendapat para ahli, prakti intervensi lanjut untuk mengatsi PTSD diantaranya: exposure therapy, trauma-fokused cgnitive-behavioral therapy, EMDR (Eye movement desentisitation and reprcessingg), family therapy, couples therapy, anxiety management, cognitive behavioral tehapy, cognitive tehrapy, dan complementary adn alternative medicine (CAM)





 DAFTAR PUSTAKA

Australian emergency management Institute and Australian society for traumatic distress studies. 2004. Psychological Service in disaster.

Dirjen Pelayanan Kesehatan DepKes RI. (1983). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia Edisi Ke-II.

Erwina Ira. 2010. Pengaruh cognitive behavior therapy terhadap post traumatic stress disorder pada penduduk pasca gempa dikelurhan air tawar barat kecamatan padang utara propinsi sumatera barat. FIK program magister keperawatan. FKUI

Evans, L., & Oehler-Stinnett, J. (2006). Children and natural disasters: A primer for school psychologists. School Psychology International, 27(1), 33-55.

Herrman Helen. 2012. Promoting Mental Health and Resilience after a Disaster. Journal of Experimental and Clinical Medicine; 4(2):82-87

Liu Azhong. 2008. short DSM-IV screening scale to detect posttraumatic stress
disorder after a natural disaster in a Chinese population. Psychiatry Research 159; 376–381

Razali Khiaril. 2013. Religious practices in trauma coping. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Volume 3, Number : 97-120

King N David. 2006. The Psychological Impact of Natural Disasters on Children. The national children’s advocacy center.
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana Alam, Pasal 1 ayat 2.

Wahyuni Eka Sri. 2005. Perawatan mental korban pasca tsunami. Jurnal keperawatan rufaidah sumatera utara; mei vol 1.

Widyatmoko. 2008. Sete;lah musibah. http://www.penapendidikan.com. Diakses tanggal 23 okteober 2014.